DEFINISI MARAH
A. Secara Bahasa
Marah ( اَلْغَضَبُ ) secara bahasa mempunyai beberapa makna, di antaranya:
1. اَلسُّخْطُ (kemarahan) atau عَدَمُ الرِّضَى بِالشَّيْءِ (tidak meridhai sesuatu). Kita katakan: غَضِبَ عَلَيْهِ غَضْبًا وَمَغْضَبَةً, yaitu benci atau tidak ridha, غَضِبَ لَهُ yaitu benci atau ia tidak ridha kepada sesuatu karenanya.
2. اَلْعَضُّ عَلَى الشَّيْءِ (menggigit sesuatu). Kita katakan: غَضِبَتِ الْخَيْلِ عَلَى اللُّجْمِ, yaitu menggigit.
3. اَلْعَبُوْسُ (kemuraman). Kita katakan: نَاقَةٌ غَضُوْبٌ وَامْرَأَةٌ غَضُوْبٌ yaitu bermuram muka.
4. وَرِمَ مَاحَوْلَ الشَّيْءِ (membengkak disekitar sesuatu). Kita katakan: غَضِبَتْ عَيْنُهُ, yaitu matanya membengkak, غَضِبَتْ yaitu infeksi di sekitarnya.
5. اَلْكِدْرُ فِي الْمُعَاشِرَةِ وَالْخُلُقِ (buruk dalam bergaul dan berakhlak). Kita katakan: هذَا غَضَابِي, yaitu buruk dalam bergaul dan berakhlak dengannya.
6. Perisai dari kulit unta yang dipakai dalam peperangan. اَلْغُضْبَةُ, yaitu kulit yang keras dari kambing dikala disamak.[1]
B. Secara Istilah
Secara istilah, اَلْغَضَبُ yaitu perubahan dalam diri atau emosi yang dibawa oleh kekuatan dan rasa dendam demi menghilangkan gemuruh di dalam dada, dan yang paling besar dari marah ialah اَلْغَيْظُ, sampai mereka berkata dalam definisinya: “Kemarahan yang teramat sangat.”[2]
Secara istilah, اَلْغَضَبُ yaitu perubahan dalam diri atau emosi yang dibawa oleh kekuatan dan rasa dendam demi menghilangkan gemuruh di dalam dada, dan yang paling besar dari marah ialah اَلْغَيْظُ, sampai mereka berkata dalam definisinya: “Kemarahan yang teramat sangat.”[2]
TANDA-TANDA KEMARAHAN DAN HAKIKATNYA DALAM ISLAM
A. Tanda-Tanda Kemarahan yang Nampak
Marah memiliki tanda-tanda zhahir yang menunjukkannya, dan tanda-tanda yang dapat diketahui dengannya di antaranya:
A. Tanda-Tanda Kemarahan yang Nampak
Marah memiliki tanda-tanda zhahir yang menunjukkannya, dan tanda-tanda yang dapat diketahui dengannya di antaranya:
1. Mengejangnya urat dan otot disertai memerahnya wajah dan kedua mata.
2. Wajah yang cemberut (muram) dan dahi yang mengerut.
3. Permusuhan dengan orang lain melalui lisan, tangan, kaki, atau yang semisalnya.
4. Membalas musuh dengan jawaban yang setimpal dengannya atau lebih parah darinya, tanpa memikirkan akibat-akibatnya yang fatal dan seterusnya.
2. Wajah yang cemberut (muram) dan dahi yang mengerut.
3. Permusuhan dengan orang lain melalui lisan, tangan, kaki, atau yang semisalnya.
4. Membalas musuh dengan jawaban yang setimpal dengannya atau lebih parah darinya, tanpa memikirkan akibat-akibatnya yang fatal dan seterusnya.
B. Hakikat Marah
Dalam Islam, marah terbagi dua, marah yang terpuji dan marah yang tercela.
Dalam Islam, marah terbagi dua, marah yang terpuji dan marah yang tercela.
1. Marah yang terpuji, yaitu bila dilakukan dalam rangka membela diri, kehormatan, harta, agama, hak-hak umum atau menolong orang yang dizhalimi.
Hal ini dikuatkan dengan dalil yang banyak, di antaranya:
a. Sesungguhnya Yang Mahakuasa Subhanahu wa Ta’ala menciptakan insan untuk menjadi khalifah di muka bumi, menyerupai dalam firman-Nya:
a. Sesungguhnya Yang Mahakuasa Subhanahu wa Ta’ala menciptakan insan untuk menjadi khalifah di muka bumi, menyerupai dalam firman-Nya:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah dikala Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’” [Al-Baqarah/2: 30]
Agar dapat melaksanakan peran ini, insan diciptakan meliputi tiga unsur; ruh, logika dan jasad. Yang Mahakuasa Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan bahwa Dia menjadikan jasad insan untuk melayani ruh, dan menjadikannya dalam keadaan baik untuk melayani ruh tersebut selama insan hidup di atas muka bumi, maka Yang Mahakuasa Subhanahu wa Ta’ala menciptakan padanya dua kekuatan:
Pertama, kekuatan syahwat, tugasnya ialah mendatangkan setiap apa yang berkhasiat bagi jasad dan menawarkan makanan padanya.
Kedua, kekuatan amarah, tugasnya ialah menolak setiap apa yang membahayakan jasad dan menghancurkannya.
Demikian pula Yang Mahakuasa Subhanahu wa Ta’ala menciptakan baginya anggota badan dan bagian-bagiannya untuk melayani setiap kekuatan syahwat dan amarah. Yang Mahakuasa Subhanahu wa Ta’ala juga menciptakan baginya logika yang menjadi penasihat dan pemberi isyarat bagi ruh, dan bila kedua kekuatan syahwat dan amarah condong dari batas kewajaran, maka logika akan menasihati dan mengarahkan ruh pada pentingnya mengambil posisi yang terang dan tegas dengan kekuatan yang condong tersebut semoga keseimbangan dan kesempurnaan akan kembali kepada jasad. Yang Mahakuasa Subhanahu wa Ta’ala mengetahui bergotong-royong logika terkadang dapat terkena apa yang menghalanginya untuk mendapatkan pesan tersirat karena suatu alasannya ialah atau yang lainnya, lalu Yang Mahakuasa Subhanahu wa Ta’ala menurunkan baginya sebuah sistem yang tergambar dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan menerangi jalannya, menunjukkannya kepada kebenaran, menjaga keseimbangan dan kesempurnaan antara seluruh aspek yang mana insan disusun dengannya semoga ia tetap menjadi langsung yang normal, lurus yang tidak ada kekurangan atau penyimpangan padanya. Dikutip dari kitab Jaami’ul Bayaan.
Dengan demikian, marah diciptakan dalam diri insan untuk melawan setiap sesuatu yang menghadangnya, serta menjaga kehormatan dan kesucian.
b. Sesungguhnya Yang Mahakuasa Azza wa Jalla telah memuji para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergotong-royong mereka ialah orang-orang yang keras dan tegas kepada kaum kafir, dengan firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ
“Muhammad itu ialah utusan Yang Mahakuasa dan orang-orang yang bersamanya ialah keras terhadap orang-orang kafir.” [Al-Fat-h/48: 29]
Keras terhadap kaum kafir tidak terjadi melainkan karena kecemburuan dan amarah, mereka tidak marah terhadap apa yang Yang Mahakuasa Subhanahu wa Ta’ala kabarkan perihal mereka, tetapi mereka marah karena Yang Mahakuasa Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ﴿٨﴾وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Yang Mahakuasa dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Yang Mahakuasa dan Rasul-Nya, mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tidak menyimpan harapan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[Al-Hasyr/59: 8-9]
Ibnu Jarir rahimahullah berkata, “Maksud ayat:
مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ bahwa Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya dari Sahabat yang hidup bersama ia dalam agama ini, mereka keras terhadap orang-orang kafir, hati mereka tegas kepada mereka, dan rahmat mereka terhadap orang-orang kafir sangatlah sedikit.”
مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ bahwa Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikutnya dari Sahabat yang hidup bersama ia dalam agama ini, mereka keras terhadap orang-orang kafir, hati mereka tegas kepada mereka, dan rahmat mereka terhadap orang-orang kafir sangatlah sedikit.”
c. Yang Mahakuasa Azza wa Jalla telah menyebutkan bergotong-royong di antara sifat kelompok orang yang dipilih untuk melindungi agama Yang Mahakuasa Subhanahu wa Ta’ala dan mengukuhkannya di dunia ini setelah dihadang oleh orang yang menghadangnya ialah kemuliaan mereka terhadap kaum kafir, sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kau yang murtad dari agamanya, maka kelak Yang Mahakuasa akan mendatangkan suatu kaum yang Yang Mahakuasa mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” [Al-Maaidah/5: 54]
Ibnu Jarir rahimahullah berkata: “Makna ayat أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِيْنَ yaitu keras dan tegas terhadap mereka. Dari perkataan seseorang, sesungguhnya orang itu telah memuliakanku, bila ia menampakkan kemuliaan itu dari dirinya untuknya, dan memperlihatkan ketidakramahan dan ketegasan.”
d. Yang Mahakuasa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Neraka Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk daerah kembali.” [At-Taubah/9: 73]
Adalah hal yang diketahui bergotong-royong ketegasan terhadap mereka timbul dari amarah kepada mereka yang disebabkan oleh kekufuran dan kemunafikan mereka yang menjadikan rintangan bagi agama Yang Mahakuasa Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan agama tersebut menjadi menyimpang.
e. Dalam sifat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diterangkan:
((مَا خُيِّرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلاَّ أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ، وَمَا انْتَقَمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلاَّ أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللهِ فَيَنْتَقِمَ ِللهِ بِهَا ))
“Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapkan kepada dua pilihan melainkan ia memilih yang paling mudah di antara keduanya selama tidak merupakan suatu dosa, namun bila sesuatu itu dosa ia ialah orang yang paling menjauh darinya, dan tidaklah ia membalas karena dirinya kecuali kehormatan Yang Mahakuasa Subhanahu wa Ta’ala dilanggar, maka ia marah karenanya.”[3]
2. Marah yang tercela ialah marah sebagai tindakan balas dendam demi dirinya sendiri, demikianlah yang dimaksud di sini. Terhadap pencelaan marah menyerupai ini banyak sekali kabar dan riwayat yang datang tentangnya, yaitu:
a. Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ ))
“Orang yang berpengaruh bukanlah dengan bergulat, namun orang yang berpengaruh itu ialah orang yang bisa mengendalikan dirinya dikala marah.”[4]
b. Hadits dari ‘Adi bin Tsabit Radhiyallahu anhu.
عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ صُرَدٍ قَالَ: اسْتَبَّ رَجُلاَنِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ جُلُوْسٌ، وَأَحَدُهُمَا يَسُبُّ صَاحِبَهُ مُغْضَبًا قَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( إِنِّي َلأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ! لَوْ قَالَ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ )) فَقَالُوا لِلرَّجُلِ: أَلاَّ تَسْمَعُ مَا يَقُولُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ: إِنِّي لَسْتُ بِمَجْنُوْنٍ ))
“Dari ‘Adi bin Tsabit, telah meriwayatkan kepada kami Sulaiman bin Shurad, ia berkata, ‘Ada dua orang yang saling mencaci di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kami duduk di sekeliling beliau, salah seorang dari keduanya mencaci yang lainnya seraya marah-marah dengan wajah memerah.’ Lalu Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya saya mengetahui sebuah kalimat, apabila ia mengucapkannya maka apa yang didapatinya (kemarahan) itu akan hilang, yaitu apabila ia berkata: “أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ (Aku berlindung kepada Yang Mahakuasa dari godaan syaitan yang terkutuk).” Mereka berkata kepada orang tersebut: ‘Apakah engkau tidak mendengarkan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Ia berkata: ‘Sesungguhnya saya bukan orang yang gila.’”[5]
c. Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِيْ. قَالَ (( لاَ تَغْضَبْ )) فَرَدَّدَ مِرَارًا، قَالَ: لاَ تَغْضَبْ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bergotong-royong ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Berikanlah pesan tersirat kepadaku.’ Beliau berkata: ‘Janganlah engkau marah.’ Orang itu mengulangi permintaannya beberapa kali, ia tetap berkata: ‘Janganlah engkau marah.’”[6]
Apabila ‘Umar Radhiyallahu anhu berkhutbah, ia berkata dalam khutbahnya:
((أَفْلَحَ مِنْكُمْ مَنْ حُفِظَ مِنَ الطَّمَعِ، وَالْهَوَى، وَالْغَضَبِ ))
“Orang yang beruntung di antara kalian ialah orang yang terjaga dari ketamakan, hawa nafsu dan amarah.”
Dikatakan kepada ‘Abdullah Ibnul Mubarak, “Sebutkanlah kepada kami secara menyeluruh dalam satu kalimat perihal adat yang baik.” Maka ia berkata, “Meninggalkan amarah,” itulah hakikat marah dalam Islam.
Sesungguhnya Syaikh Mahfuzh telah merangkum hakikat amarah tersebut dengan cara yang mudah dan gampang difahami dengan menukil riwayat dari Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Ihyaa’, dia (al-Ghazali) mengatakan bahwa:
Amarah itu terdiri dari tiga tingkatan, yaitu:
Amarah itu terdiri dari tiga tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan kewajaran, yaitu amarah yang ditujukan untuk membela diri, agama, kehormatan, harta, membela hak-hak yang umum dan menolong orang yang dizhalimi. Disebabkan kondisi-kondisi itulah amarah diciptakan, ia diciptakan untuk suatu akal yang mendasar sebagai konsekuensi dari tabi’at makhluk dan memenuhi aturan masyarakat. Karena sesungguhnya berlomba-lomba dalam kehidupan dan persaingan ini dalam memenuhi kebutuhannya menjadikan adanya pembelaan yang berpengaruh akan diri, agama, harta, kehormatan, dan hak-hak umum. Seandainya bukan karena hal itu, maka bumi ini akan hancur dengan merebaknya kekacauan dan meruntuhkan sistem-sistem kemasyarakatan. Oleh karena itu barangsiapa yang tidak marah karena dirinya maka ia akan menghadapi janjkematian di muka bumi ini, atau ia akan menghadapi hinaan orang lain dengan banyak sekali macam hinaan layaknya hewan yang tidak marah demi dirinya. Dan barangsiapa yang tidak marah karena agamanya, maka sesungguhnya tujuannya ialah taqlid yang begitu berpengaruh pada setiap apa yang dilihat dan dianggapnya baik, lalu ia pun akan berpindah dari satu agama ke agama lain di sebabkan taqlid buta. Dan barangsiapa yang tidak marah demi kehormatannya, maka ia tidak merasa cemburu terhadap wanita-wanitanya (isterinya), akan bercampuraduknya keturunan (nasab), menyebarnya kekejian ditengah-tengah masyarakat, sehingga insan akan menjadi menyerupai hewan yang menyetubuhi betinanya tanpa ada rasa cemburu dan memandang rendah akan hal itu.
Dan barangsiapa yang tidak marah demi hartanya, maka ia tidak akan selamat dari rampasan orang lain terhadap hartanya, sehingga ia menjadi miskin dan papa, dan apabila tindakan merampas harta telah menyebar maka akan lumpuhlah sistem pekerjaan, bahkan transaksi-transaksi ekonomi akan lumpuh total, pabrik-pabrik akan tutup, pertanian akan hancur, dan insan akan bersandar pada harta rampasan orang lain. Hal itu ialah suatu keburukan dan bencana dalam waktu bersahabat maupun waktu yang akan datang.
Dan barangsiapa yang tidak cemburu akan hak-hak umum dan menolong orang yang dizhalimi maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari tabi’at yang Yang Mahakuasa Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan insan di atasnya.
Dalam hal yang sama, Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang dibuat marah namun ia tidak marah, maka ia ialah keledai.” Yaitu mempunyai tabi’at yang dungu, dan rasa malunya hilang, dalam hal ini Imam asy-Syafi’i mengisyaratkan dengan firman Yang Mahakuasa Ta’ala:
وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ
“Seandainya Yang Mahakuasa tidak menolak (keganasan) sebagian insan dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Yang Mahakuasa mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”[Al-Baqarah/2: 251]
2. Tingkatan melalaikan, yaitu amarah yang berada di bawah batas kewajaran dengan melemahnya amarah tersebut pada diri manusia, atau hilang sama sekali darinya. Kondisi menyerupai ini sangatlah terhina secara logika maupun agama, karena barangsiapa yang tidak marah demi dirinya, agama, kehormatan, harta, atau kemaslahatan umum, maka dia ialah pengecut, dia tidak berjalan di atas ketetapan-ketetapan Yang Mahakuasa terhadap makhluk-Nya. Dalam hal menyerupai ini terdapat ancaman besar yang mengancam masyarakat, karena akan menyebabkan kekacauan pada semua tatanan kehidupan menyerupai yang telah Anda ketahui.
3. Tingkatan yang berlebih-lebihan, yaitu amarah yang melampaui batas kewajaran, logika dan juga agama. Amarah itu berjalan dengan cepat di atas keburukan yang akhirnya akan menjadikan kehancuran dari arah yang tidak ia ketahui, dan mungkin saja amarahnya menyeret kepada suatu perkara yang pada akhirnya dia melaksanakan dosa besar dan menyebarnya banyak sekali kehancuran.
Merupakan hal yang sudah diketahui bahwa amarah dalam kondisi-kondisi menyerupai itu ialah tercela, baik secara logika maupun agama. Berbedanya tingkatan celaan terhadapnya sesuai dengan perbedaan berpengaruh atau lemahnya akhir yang ditimbulkannya, setiap kali bahayanya lebih besar maka amarah tersebut akan lebih berpengaruh dan celaan padanya pun akan lebih banyak lagi. Dikutip dari kitab Hidaayatul Mustarsyidiin.
Wallahua’lam..
Posting Komentar